STUNTING DAN WASTING DI PROVINSI SULAWESI TENGAH TAHUN 2021

Stunting merupakan salah satu ancaman bagi pembangunan sumber daya manusia dalam hal kualitas dan daya saing. Menurut (WHO,2012) bahwa penanggulangan anak stunting menjadi yang pertama dari enam tujuan dalam Global Nutrition for 2025 dan menjadi salah satu tujuan dalam Sustainable Development Goals (SDGs). Hal ini disebabkan oleh gangguan pertumbuhan fisik serta gangguan perkembangan otak yang akan mempengaruhi produktivitas dan kreativitas di usia produktif serta memberikan beberapa dampak yang bersifat langsung dan jangka panjang yaitu morbiditas dan mortalitas, perkembangan anak yang buruk, kapasitas belajar yang rendah, peningkatan risiko infeksi dan penyakit tidak menular di masa dewasa, serta mengurangi produktivitas dan kemampuan ekonomi. 

Pada tahun 2014, Kominfo melakukan sosialisasi mengenai istilah “Stunting” terkhusus para pemuda/pemudi. Untuk memberikan dampak yang luas bagi masyarakat, Kominfo membuat sebuah gerakan yang dikenal sebagai “Genbest” (Generasi Bersih dan Sehat). Gerakan ini didesain guna merampungkan persoalan gizi di berbagai daerah di Indonesia. Masalah stunting menjadi perhatian Presiden Jokowi yang ditergarap dalam salah satunya visinya yaitu “Pembangunan Sumber Daya Manusia” sehingga masalah ini harus segera diselesaikan secara terintegrasi dengan lintas sektor.

Menurut P2TM Kemenkes RI (2018), Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak yakni tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya. Di Indonesia, stunting disebut dengan kerdil sehingga banyak orang yang beranggapan bahwa anak stunting itu sama dengan anak kerdil/pendek (dwarfisme). Namun, anak yang kerdil/pendek belum bisa dikategorikan sebagai anak stunting. Kerdil/pendek merupakan bawaan genetik sementara stunting merupakan penyakit. Stunting terjadi karena kurangnya asupan gizi pada anak dalam 1.000 hari pertama kehidupan. Sedangkan, kerdil alias dwarfisme terkait kelainan genetik atau gangguan hormon yang menyebabkan tinggi badan di bawah rata-rata.

Disamping itu, ada juga yang menjadi ancaman bagi pembangunan SDM yaitu wasting. WHO selaku badan kesehatan dunia, menyatakan bahwa wasting adalah salah satu masalah kesehatan utama. Sebab kondisi ini berhubungan langsung dengan angka kejadian suatu penyakit (morbiditas). Menurut WHO, indikator untuk menilai kemungkinan kondisi ini pada anak yakni berat badan menurun dengan cepat sedangkan tinggi badan (BB/TB) tetap bertambah. Anak dikatakan mengalami kondisi ini ketika hasil pengukuran indikator BB/TB berada di -3 sampai dengan di bawah -2 standar deviasi (SD). Lebih dari itu, anak juga bisa mengalami wasting akut (severe acute malnutrition) ketika indikator BB/TB menunjukkan angka di bawah -3 SD.

Bisa dikatakan, wasting akut adalah kondisi penurunan berat badan yang sudah lebih parah ketimbang kondisi yang biasa. Wasting umumnya lebih banyak dialami oleh anak di kelompok usia balita. Setelah lewat dari usia tersebut, risiko kondisi ini pada anak berangsur-angsur akan menurun.

Berdasarkan Hasil SSGI 2021, masalah gizi balita yang paling tinggi adalah stunting yaitu sebesar 24,4% dibandingkan dengan masalah kegemukan dan kekurusan yang masing-masing sebesar 17% dan 7,1%. Nilai wasting Provinsi Sulawesi Tengah masih berada diatas rata-rata nasional yaitu 9,1. 


Sumber: SSGI 2021

Badan Kesehatan Dunia (WHO) membatasi masalah stunting di setiap negara, provinsi, dan kabupaten sebesar 20%. Dalam kurun setengah dasawarsa, prevalensi balita stunting di Indonesia mengalami penurunan yang signifikan. Sementara Indonesia baru mencapai 24,4%. Hal ini mengindikasikan bahwa prevalensi balita stunting masih tergolong tinggi. Berdasarkan Hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021, prevalensi balita stunting di Indonesia dari 34 provinsi hanya ada 6 provinsi yang berada di bawah batasan WHO tersebut, yakni Kepulauan Bangka Belitung (18,6%), Lampung (18,5%), Kepualuan Riau (17,6%), D.I Yogyakarta (17,3%), DKI Jakarta (16,8%) dan Bali (10,9%). Provinsi lainnya memiliki kasus dominan tinggi termasuk Provinsi Sulawesi Tengah.

Diterangkan Menkes Nila Moeloek, kesehatan berada di hilir. Seringkali masalah-masalah non kesehatan menjadi akar dari masalah stunting, baik itu masalah ekonomi, politik, sosial, budaya, kemiskinan, kurangnya pemberdayaan perempuan, serta masalah degradasi lingkungan. Karena itu, ditegaskan oleh Menkes, kesehatan membutuhkan peran semua sektor dan tatanan masyarakat.

1) Pola Makan

Masalah stunting dipengaruhi oleh rendahnya akses terhadap makanan dari segi jumlah dan kualitas gizi, serta seringkali tidak beragam.

Istilah “Isi Piringku” dengan gizi seimbang perlu diperkenalkan dan dibiasakan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi anak-anak dalam masa pertumbuhan, memperbanyak sumber protein sangat dianjurkan, di samping tetap membiasakan mengonsumsi buah dan sayur.

Dalam satu porsi makan, setengah piring diisi oleh sayur dan buah, setengahnya lagi diisi dengan sumber protein (baik nabati maupun hewani) dengan proporsi lebih banyak daripada karbohidrat.

2) Pola Asuh

Stunting juga dipengaruhi aspek perilaku, terutama pada pola asuh yang kurang baik dalam praktek pemberian makan bagi bayi dan Balita.

Dimulai dari edukasi tentang kesehatab reproduksi dan gizi bagi remaja sebagai cikal bakal keluarga, hingga para calon ibu memahami pentingnya memenuhi kebutuhan gizi saat hamil dan stimulasi bagi janin, serta memeriksakan kandungan empat kali selama kehamilan.

Bersalin di fasilitas kesehatan, lakukan inisiasi menyusu dini (IMD) dan berupayalah agar bayi mendapat colostrum air susu ibu (ASI). Berikan hanya ASI saja sampai bayi berusia 6 bulan.

Setelah itu, ASI boleh dilanjutkan sampai usia 2 tahun, namun berikan juga makanan pendamping ASI. Jangan lupa pantau tumbuh kembangnya dengan membawa buah hati ke Posyandu setiap bulan.

Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah berikanlah hak anak mendapatkan kekebalan dari penyakit berbahaya melalui imunisasi yang telah dijamin ketersediaan dan keamanannya oleh pemerintah. Masyarakat bisa memanfaatkannya dengan tanpa biaya di Posyandu atau Puskesmas.

3) Sanitasi dan Akses Air Bersih Rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan, termasuk di dalamnya adalah akses sanitasi dan air bersih, mendekatkan anak pada risiko ancaman penyakit infeksi. Untuk itu, perlu membiasakan cuci tangan pakai sabun dan air mengalir, serta tidak buang air besar sembarangan.

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini